Sinar Dinar Tak Pernah Pudar
Harian Jurnal Nasional, Jumat, 13 Mei 2011, Sisipan “Syariah” Halaman 2
Nilai uang ini tidak pernah merosot bahkan sejak jaman Nabi
“BILA saat ini memiliki uang tidak terpakai sebesar Rp1.800.000, kira-kira akan dipakai untuk apa dana tersebut? Bagi yang ingin menyelamatkan uang itu , pasti akan memlih untuk menabung ke bank namun apakah menabung di bank benar-benar akan melindungi uang Anda? Coba pikirkan sekali lagi.”
Bila saat ini uang jumlah tersebut dapat dipakai untuk membeli 12 karung beras yang dihargai Rp150.000 setiap karungnya, makan dipastikan dana itu tidak akan bisa membeli beras dengan jumlah karung yang sama tahun depan. Daya beli uang merosot karena setiap tahun terjadi inflasi atau penurunan nilai uang, yang besaran rata-ratanya 10%. Jadi bila tahun ini satu karung beras dibanderol Rp150.000, tahun depan diperkirakan harga tersebut naik menjadi Rp165.000. Dengan uang sebesar Rp1.800.000, maka dana tersebut paling hanya mampu membeli 10 karung beras pada tahun berikutnya.
Di saat inflasi merampok secara diam-diam uang kertas yang dimiliki seseorang, bunga bank per tahun yang rata-rata lima persen juga tidak sanggup mengejar laju inflasi sebesar 10 persen. Selain itu menurut Penasihat Investasi Endy J. Kurniawan, menabung dengan menitipkan sejumlah uang ke bank ternyata mengandung banyak kerugian. Karena sistem dan aturan main tabungan bank justru bisa menggerogoti nilai tabungan.
Setelah krisis moneter 1998, bank-bank di Indonesia menggeser penghasilan utamanya dari bunga ke fee-based income. Dulu bank mengandalkan penghasilan dari bunga atas pinjaman. Kini, selain penghasilan dari bunga, bank juga memaksimalkan pendapatan dari pengelolaan rekening serta jasa transfer yang bisa dikutip langsung dari nasabah.
Selain itu, pada saldo tertentu, bank tidak memberikan bunga kepada nasabah. Saat ini pada banyak bank, jika saldo di bawah Rp1 juta maka bunga nol. Artinya, jika seseorang menyimpan uang sebesar Rp500.000 di bank lalu didiamkan, maka empat tahun kemudian uang tersebut bisa menjadi nol karena setiap bulan bank menentukan biaya administrasi sebesar Rp10.000 sementara tidak ada bagi hasil yang diberikan.
Bila demikian apakah saat ini tidak perlu lagi untuk menabung? Kalau pemikiran seperti itu tentu tidak bisa dibenarkan. Yang betul, carilah cara menabung dan berinvestasi yang membawa untung.
Endy mengatakan, masyarakat harus mulai menyimpan tabungan dalam asset riil yang nilainya terjaga terhadap komoditas lain sekaligus memiliki ketangguhan melawan inflasi. Dewasa ini pilihan investasi dan tabungan begitu beragam.
Namun yang menguntungkan dan tidak merumitkan adalah menabung dalam bentuk Dinar atau koin emas berkadar 22 karat dengan berat 4,25 gram dan juga Dinar atau koin perak murni dengan berat hampir tiga gram (tepatnya 2,975 gr).
Bila uang kertas terus melemah setiap tahun, Dinar dengan bahan emasnya justru kian gagah dan terus mengalami kenaikan hingga rata-rata 25 persen. Jadi bila uang Rp1.800.000 digunakan membeli satu Dinar emas saat ini maka besar kemungkinan tahun depan harga satu Dinar tersebut menjadi Rp2.160.000. Daya beli uang tersebut pun menjadi lebih tinggi atau setidaknya sama dari tahun sebelumnya.
Selain itu Dinar terbukti memiliki nilai yang sama sepanjang tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan, satu keping Dinar pada jaman Rasulullah SAW bisa dipakai untuk membeli seekor kambing. Saat ini premis tersebut masih berlaku meski sudah 1.400 tahun lalu terjadi. Dengan harga Dinar yang saat ini berada di kisaran Rp1.800.000 maka seekor kambing dengan kualitas tinggi dapat dibeli. Karena nilainya yang selalu sama ini, Dinar dan Dinar sering disebut dengan heaven’s currency karena memiliki kemampuan sebagai penakar yang adil.
Dengan keutamaan-keutamaan tersebut maka sudah dipastikan Dinar menjadi investasi abadi sepanjang masa. Bila ada orang yang bernasih seperti Ashabul Kahfi yang ketiduran di gua selama sekitar 309 tahun dan memiliki Dinar, dia tetap dapat membelanjakannya setelah bangun. Hal ini tentu tidak berlaku bila dia menyimpan uang dalam bentu rupiah.
Menurut Endy, Dinar sudah dipastikan menjadi jawaban untuk perencanaan-perencanaan keuangan jangka panjang seperti biaya pernikahan, dana pensiun hingga ongkos naik haji. Dengan kacamata Dinar, segala kebutuhan hidup menjadi kian murah karena Dinar semakin perkasa bila dibandingkan uang kertas yang nilainya terus melorot. Pada 1997 dibutuhkan 97 Dinar (ketika itu harga Dinar Rp94.000) untuk menunaikan haji namun tahun kemarin cukup 22 Dinar (harga Dinar sekitar Rp1.500.000) untuk pergi ke Tanah Suci.
Ini terjadi karena Dinar selalu dalam kondisi bull market atau memiliki kecenderungan tren terus naik. Menurut Endy, tidak ada yang menghalangi harga emas untuk terus melambung tinggi.
“Bisa saja harga satu Dinar akan mencapai Rp10 juta hingga Rp15 juta pada 2020 nanti,” katanya.
Investasi Tak Kenal Kasta
Selain memiliki sejumlah keunggulan tersebut, berinvestasi Dinar dan Dinar juga tak mengenal kasta. Siapa pun bisa memulainya, baik orang tua maupun remaja. Coba bandingkan dengan investasi berupa property baik berupa rumah tinggal, apartemen, ruko atau kavling tanah. Tentu investasi property begitu menggiurkan karena keuntungannya bisa mencapai 15 persen setiap tahun. Namun saat ini tentu akan sulit memulai investasi hanya dengan uang senilai Rp1.800.000.
“Banyak yang mengira untuk memulai menabung emas kita harus kaya, mapan dan harus berpenghasilan besar dulu. Pendapat ini jelas menyesatkan. Menabung emas justru membuat orang yang penghasilannya minim atau biasa-biasa saja menjadi sejahtera di masa depan. Sebaliknya jika tidak mulai menabung Dinar emas, nasib seseorang tidak akan berubah selamanya,” katanya. Namun kuncinya adalah disiplin, berpikir jangka panjang dan selektif atas biaya konsumtif.
Endy juga mengingatkan sebaiknya menghindari menyimpan dalam Dinar dan emas pada umumnya jika dana akan digunakan untuk berbagai keperluan dalam rentang waktu enam bulan.
“Tempatkan ke Dinar, dana yang memang benar-benar tak terpakai dalam enam bulan ke depan.” katanya.
Nilai uang ini tidak pernah merosot bahkan sejak jaman Nabi
“BILA saat ini memiliki uang tidak terpakai sebesar Rp1.800.000, kira-kira akan dipakai untuk apa dana tersebut? Bagi yang ingin menyelamatkan uang itu , pasti akan memlih untuk menabung ke bank namun apakah menabung di bank benar-benar akan melindungi uang Anda? Coba pikirkan sekali lagi.”
Bila saat ini uang jumlah tersebut dapat dipakai untuk membeli 12 karung beras yang dihargai Rp150.000 setiap karungnya, makan dipastikan dana itu tidak akan bisa membeli beras dengan jumlah karung yang sama tahun depan. Daya beli uang merosot karena setiap tahun terjadi inflasi atau penurunan nilai uang, yang besaran rata-ratanya 10%. Jadi bila tahun ini satu karung beras dibanderol Rp150.000, tahun depan diperkirakan harga tersebut naik menjadi Rp165.000. Dengan uang sebesar Rp1.800.000, maka dana tersebut paling hanya mampu membeli 10 karung beras pada tahun berikutnya.
Di saat inflasi merampok secara diam-diam uang kertas yang dimiliki seseorang, bunga bank per tahun yang rata-rata lima persen juga tidak sanggup mengejar laju inflasi sebesar 10 persen. Selain itu menurut Penasihat Investasi Endy J. Kurniawan, menabung dengan menitipkan sejumlah uang ke bank ternyata mengandung banyak kerugian. Karena sistem dan aturan main tabungan bank justru bisa menggerogoti nilai tabungan.
Setelah krisis moneter 1998, bank-bank di Indonesia menggeser penghasilan utamanya dari bunga ke fee-based income. Dulu bank mengandalkan penghasilan dari bunga atas pinjaman. Kini, selain penghasilan dari bunga, bank juga memaksimalkan pendapatan dari pengelolaan rekening serta jasa transfer yang bisa dikutip langsung dari nasabah.
Selain itu, pada saldo tertentu, bank tidak memberikan bunga kepada nasabah. Saat ini pada banyak bank, jika saldo di bawah Rp1 juta maka bunga nol. Artinya, jika seseorang menyimpan uang sebesar Rp500.000 di bank lalu didiamkan, maka empat tahun kemudian uang tersebut bisa menjadi nol karena setiap bulan bank menentukan biaya administrasi sebesar Rp10.000 sementara tidak ada bagi hasil yang diberikan.
Bila demikian apakah saat ini tidak perlu lagi untuk menabung? Kalau pemikiran seperti itu tentu tidak bisa dibenarkan. Yang betul, carilah cara menabung dan berinvestasi yang membawa untung.
Endy mengatakan, masyarakat harus mulai menyimpan tabungan dalam asset riil yang nilainya terjaga terhadap komoditas lain sekaligus memiliki ketangguhan melawan inflasi. Dewasa ini pilihan investasi dan tabungan begitu beragam.
Namun yang menguntungkan dan tidak merumitkan adalah menabung dalam bentuk Dinar atau koin emas berkadar 22 karat dengan berat 4,25 gram dan juga Dinar atau koin perak murni dengan berat hampir tiga gram (tepatnya 2,975 gr).
Bila uang kertas terus melemah setiap tahun, Dinar dengan bahan emasnya justru kian gagah dan terus mengalami kenaikan hingga rata-rata 25 persen. Jadi bila uang Rp1.800.000 digunakan membeli satu Dinar emas saat ini maka besar kemungkinan tahun depan harga satu Dinar tersebut menjadi Rp2.160.000. Daya beli uang tersebut pun menjadi lebih tinggi atau setidaknya sama dari tahun sebelumnya.
Selain itu Dinar terbukti memiliki nilai yang sama sepanjang tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan, satu keping Dinar pada jaman Rasulullah SAW bisa dipakai untuk membeli seekor kambing. Saat ini premis tersebut masih berlaku meski sudah 1.400 tahun lalu terjadi. Dengan harga Dinar yang saat ini berada di kisaran Rp1.800.000 maka seekor kambing dengan kualitas tinggi dapat dibeli. Karena nilainya yang selalu sama ini, Dinar dan Dinar sering disebut dengan heaven’s currency karena memiliki kemampuan sebagai penakar yang adil.
Dengan keutamaan-keutamaan tersebut maka sudah dipastikan Dinar menjadi investasi abadi sepanjang masa. Bila ada orang yang bernasih seperti Ashabul Kahfi yang ketiduran di gua selama sekitar 309 tahun dan memiliki Dinar, dia tetap dapat membelanjakannya setelah bangun. Hal ini tentu tidak berlaku bila dia menyimpan uang dalam bentu rupiah.
Menurut Endy, Dinar sudah dipastikan menjadi jawaban untuk perencanaan-perencanaan keuangan jangka panjang seperti biaya pernikahan, dana pensiun hingga ongkos naik haji. Dengan kacamata Dinar, segala kebutuhan hidup menjadi kian murah karena Dinar semakin perkasa bila dibandingkan uang kertas yang nilainya terus melorot. Pada 1997 dibutuhkan 97 Dinar (ketika itu harga Dinar Rp94.000) untuk menunaikan haji namun tahun kemarin cukup 22 Dinar (harga Dinar sekitar Rp1.500.000) untuk pergi ke Tanah Suci.
Ini terjadi karena Dinar selalu dalam kondisi bull market atau memiliki kecenderungan tren terus naik. Menurut Endy, tidak ada yang menghalangi harga emas untuk terus melambung tinggi.
“Bisa saja harga satu Dinar akan mencapai Rp10 juta hingga Rp15 juta pada 2020 nanti,” katanya.
Investasi Tak Kenal Kasta
Selain memiliki sejumlah keunggulan tersebut, berinvestasi Dinar dan Dinar juga tak mengenal kasta. Siapa pun bisa memulainya, baik orang tua maupun remaja. Coba bandingkan dengan investasi berupa property baik berupa rumah tinggal, apartemen, ruko atau kavling tanah. Tentu investasi property begitu menggiurkan karena keuntungannya bisa mencapai 15 persen setiap tahun. Namun saat ini tentu akan sulit memulai investasi hanya dengan uang senilai Rp1.800.000.
“Banyak yang mengira untuk memulai menabung emas kita harus kaya, mapan dan harus berpenghasilan besar dulu. Pendapat ini jelas menyesatkan. Menabung emas justru membuat orang yang penghasilannya minim atau biasa-biasa saja menjadi sejahtera di masa depan. Sebaliknya jika tidak mulai menabung Dinar emas, nasib seseorang tidak akan berubah selamanya,” katanya. Namun kuncinya adalah disiplin, berpikir jangka panjang dan selektif atas biaya konsumtif.
Endy juga mengingatkan sebaiknya menghindari menyimpan dalam Dinar dan emas pada umumnya jika dana akan digunakan untuk berbagai keperluan dalam rentang waktu enam bulan.
“Tempatkan ke Dinar, dana yang memang benar-benar tak terpakai dalam enam bulan ke depan.” katanya.
Komentar
Posting Komentar