Pahala Berlimpah Bagi Para Pencari Nafkah
Para pengusaha muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam
mengembangkan usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan
usaha, dan tidak berputus asa. Dengan demikian, pengusaha muslim akan
tangguh, mandiri, dan mampu memberantas kemiskinan, dengan izin Allah!
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada makanan yang dimakan oleh seseorang, yang lebih baik dari makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi Allah, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri." [Hadis sahih; diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, no. 2072 dan Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 8:6].
Islam sangat membenci pemalas yang menjadi beban orang lain padahal setiap individu dikaruniai bekal kelebihan masing-masing oleh Allah. Dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar, diriwayatkan bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah sikap meminta-minta ada pada diri seseorang di antara kalian, kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun." [HR. Bukhari, Muslim, dan Nasa'i dalam Sunan-nya].
Abu Qasim Al-Khatli bertanya kepada Imam Ahmad, “Apa komentar Anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di masjid lalu berkata, 'Aku tidak perlu bekerja, karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang'?” Maka, beliau menjawab, "Orang tersebut bodoh terhadap ilmu. Apakah dia tidak mendengarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad).'?” [Ibnul Jauzi, Talbisul Iblis, hlm. 302].
Sahl bin Abdullah At-Tustari berkata, "Barang siapa yang merusak tawakal berarti dia telah merusak pilar keimanan, dan barang siapa yang merusak kepercayaan berarti dia telah membuat kerusakan dalam sunah." [Ibnul Jauzi, Talbisul Iblis, hlm. 299].
Allah tidak melarang para hamba-Nya berusaha. Bahkan, Allah mencintai segala bentuk usaha, asalkan sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Bahkan, Allah memberi ampunan kepada orang yang kecapekan karena mencari nafkah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Barang siapa yang bermalam dalam keadaan badannya capek karena pekerjaannya, dia bermalam dalam keadaan terampuni dosanya." [Lihat: Fathul Bari, 4:353].
Wahai saudaraku, saya sengaja memaparkan beberapa atsar dari para ulama untuk menepis anggapan sebagian orang bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar--untuk mencukupi kebutuhan hidupnya--merupakan cinta dunia yang menodai sikap kezuhudan. Padahal, tidaklah demikian! Bahkan, Abu Darda' berkata, "Termasuk tanda kepahaman seseorang terhadap agamanya adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya." [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Ishlahul Mal, hlm. 233, Ibnu Abi Syaibah, no. 34606, dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syuab, 2:365].
Pengusaha muslim harus bangkit
Krisis ekonomi global jangan sampai mematahkan semangat pengusaha muslim, apalagi menjerumuskan diri dalam jurang keputusasaan. Justru sebaliknya, krisis ekonomi global sebagai realitas yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, tawakal, dan menjauhi sifat pengecut. Krisis harus disikapi sebagai pengingat, cambuk bagi kita semua untuk bangkit mencari peluang, membuka keran rezeki yang mampet. Pengusaha muslim dituntut menjadi teladan paripurna, termasuk semangatnya dalam menghimpun rezeki dan membuka lapangan kerja yang halal.
"Barangsiapa yang bermalam dalam keadaan badannya capek karena pekerjaannya, dia bermalam dalam keadaan terampuni dosanya."
Ketika Abdurrahman bin Auf hijrah ke Madinah dengan segala keterbatasannya, beliau mendapat tawaran bantuan. Meski begitu, beliau mengatakan, "Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah?" Akhirnya, dalam waktu tidak begitu lama beliau sudah mampu hidup mandiri. [Lihat: Fathul Bari, 4:1358 dan Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, 15:133].
Kesibukan para utusan Allah dan ulama salaf dalam mencari ilmu dan berdakwah tidak melalaikan mereka mengumpulkan rezeki yang halal. Bercermin dari itu, para pengusaha muslim harus bisa meneladani mereka, menyinergikan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, jangan lalai di satu sisi; mesti proporsional.
Kini, apa pun bentuk usahanya, asalkan halal dan diperoleh dengan cara yang benar, usaha tersebut harus dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Hilangkan perasaan penuh rendah diri, malu, atau gengsi. Perbaiki atau luruskan kembali niat ini apabila sempat goyah. Katakan lalu camkan dalam hati, bahwa apa yang kita usahakan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ingat, ukuran sebuah usaha atau profesi itu dikatakan mulia dan tidak, tidak bergantung dari pandangan manusia. Namun, sangat ditentukan oleh kehalalan dan benarnya jenis usaha di hadapan Allah, serta terpujinya usaha tersebut dari sisi syariat. Sebesar apa pun keuntungan yang diperoleh, namun bila didapat dari perniagaan atau profesi yang tidak halal, bisa dipastikan bahwa harta itu tidak akan mengandung berkah.
Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita. Misalnya: Nabi Zakaria menjadi tukang kayu, Nabi Idris menjahit pakaian, dan Nabi Daud membuat baju perang. Artinya, bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunah. Berusaha untuk mencari nafkah, baik berniaga, bertani, atau beternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakal.
Begitu pula para ulama salaf, mereka tergolong orang yang rajin bekerja, menuntut ilmu serta berdakwah menyebarkan agama. Tidak mengapa seseorang bekerja di bidang dakwah lalu mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut, karena ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah; beliau mencukupi kebutuhan keluarganya dari baitul mal. [Lihat: Fathul Bari, 4:357].
Perlu diketahui bahwa kualitas diri seseorang sangat tergantung pada hasil ikhtiar yang dia perjuangkan, termasuk keberhasilannya untuk memberi manfaat bagi banyak orang. Maka, seorang pengusaha muslim harus hidup berkecukupan. Dengan hidup berkecukupan, pengusaha muslim akan lebih banyak memiliki peran, bukan hanya untuk kepentingan pribadi (misalnya: menuntut ilmu atau mencukupi kebutuhan keluarga yang bersifat duniawi saja), namun di ladang dakwah, seorang pengusaha muslim yang berkecukupan juga bisa beramal saleh dan berdakwah.
Artikel www.PengusahaMuslim.com
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada makanan yang dimakan oleh seseorang, yang lebih baik dari makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi Allah, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri." [Hadis sahih; diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, no. 2072 dan Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 8:6].
Islam sangat membenci pemalas yang menjadi beban orang lain padahal setiap individu dikaruniai bekal kelebihan masing-masing oleh Allah. Dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar, diriwayatkan bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah sikap meminta-minta ada pada diri seseorang di antara kalian, kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun." [HR. Bukhari, Muslim, dan Nasa'i dalam Sunan-nya].
Abu Qasim Al-Khatli bertanya kepada Imam Ahmad, “Apa komentar Anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di masjid lalu berkata, 'Aku tidak perlu bekerja, karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang'?” Maka, beliau menjawab, "Orang tersebut bodoh terhadap ilmu. Apakah dia tidak mendengarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad).'?” [Ibnul Jauzi, Talbisul Iblis, hlm. 302].
Sahl bin Abdullah At-Tustari berkata, "Barang siapa yang merusak tawakal berarti dia telah merusak pilar keimanan, dan barang siapa yang merusak kepercayaan berarti dia telah membuat kerusakan dalam sunah." [Ibnul Jauzi, Talbisul Iblis, hlm. 299].
Allah tidak melarang para hamba-Nya berusaha. Bahkan, Allah mencintai segala bentuk usaha, asalkan sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Bahkan, Allah memberi ampunan kepada orang yang kecapekan karena mencari nafkah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Barang siapa yang bermalam dalam keadaan badannya capek karena pekerjaannya, dia bermalam dalam keadaan terampuni dosanya." [Lihat: Fathul Bari, 4:353].
Wahai saudaraku, saya sengaja memaparkan beberapa atsar dari para ulama untuk menepis anggapan sebagian orang bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar--untuk mencukupi kebutuhan hidupnya--merupakan cinta dunia yang menodai sikap kezuhudan. Padahal, tidaklah demikian! Bahkan, Abu Darda' berkata, "Termasuk tanda kepahaman seseorang terhadap agamanya adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya." [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Ishlahul Mal, hlm. 233, Ibnu Abi Syaibah, no. 34606, dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syuab, 2:365].
Pengusaha muslim harus bangkit
Krisis ekonomi global jangan sampai mematahkan semangat pengusaha muslim, apalagi menjerumuskan diri dalam jurang keputusasaan. Justru sebaliknya, krisis ekonomi global sebagai realitas yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, tawakal, dan menjauhi sifat pengecut. Krisis harus disikapi sebagai pengingat, cambuk bagi kita semua untuk bangkit mencari peluang, membuka keran rezeki yang mampet. Pengusaha muslim dituntut menjadi teladan paripurna, termasuk semangatnya dalam menghimpun rezeki dan membuka lapangan kerja yang halal.
"Barangsiapa yang bermalam dalam keadaan badannya capek karena pekerjaannya, dia bermalam dalam keadaan terampuni dosanya."
Ketika Abdurrahman bin Auf hijrah ke Madinah dengan segala keterbatasannya, beliau mendapat tawaran bantuan. Meski begitu, beliau mengatakan, "Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah?" Akhirnya, dalam waktu tidak begitu lama beliau sudah mampu hidup mandiri. [Lihat: Fathul Bari, 4:1358 dan Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, 15:133].
Kesibukan para utusan Allah dan ulama salaf dalam mencari ilmu dan berdakwah tidak melalaikan mereka mengumpulkan rezeki yang halal. Bercermin dari itu, para pengusaha muslim harus bisa meneladani mereka, menyinergikan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, jangan lalai di satu sisi; mesti proporsional.
Kini, apa pun bentuk usahanya, asalkan halal dan diperoleh dengan cara yang benar, usaha tersebut harus dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Hilangkan perasaan penuh rendah diri, malu, atau gengsi. Perbaiki atau luruskan kembali niat ini apabila sempat goyah. Katakan lalu camkan dalam hati, bahwa apa yang kita usahakan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ingat, ukuran sebuah usaha atau profesi itu dikatakan mulia dan tidak, tidak bergantung dari pandangan manusia. Namun, sangat ditentukan oleh kehalalan dan benarnya jenis usaha di hadapan Allah, serta terpujinya usaha tersebut dari sisi syariat. Sebesar apa pun keuntungan yang diperoleh, namun bila didapat dari perniagaan atau profesi yang tidak halal, bisa dipastikan bahwa harta itu tidak akan mengandung berkah.
Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita. Misalnya: Nabi Zakaria menjadi tukang kayu, Nabi Idris menjahit pakaian, dan Nabi Daud membuat baju perang. Artinya, bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunah. Berusaha untuk mencari nafkah, baik berniaga, bertani, atau beternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakal.
Begitu pula para ulama salaf, mereka tergolong orang yang rajin bekerja, menuntut ilmu serta berdakwah menyebarkan agama. Tidak mengapa seseorang bekerja di bidang dakwah lalu mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut, karena ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah; beliau mencukupi kebutuhan keluarganya dari baitul mal. [Lihat: Fathul Bari, 4:357].
Perlu diketahui bahwa kualitas diri seseorang sangat tergantung pada hasil ikhtiar yang dia perjuangkan, termasuk keberhasilannya untuk memberi manfaat bagi banyak orang. Maka, seorang pengusaha muslim harus hidup berkecukupan. Dengan hidup berkecukupan, pengusaha muslim akan lebih banyak memiliki peran, bukan hanya untuk kepentingan pribadi (misalnya: menuntut ilmu atau mencukupi kebutuhan keluarga yang bersifat duniawi saja), namun di ladang dakwah, seorang pengusaha muslim yang berkecukupan juga bisa beramal saleh dan berdakwah.
Artikel www.PengusahaMuslim.com
Komentar
Posting Komentar